Jakarta SAMO News - Dilansir dari laman berita BBC Indonesia Kejaksaan Agung mewacanakan razia besar-besaran terhadap buku berkonten komunisme dan ideologi terlarang lainnya.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, menyebut razia dan penyitaan buku sebagai kesewenang-wenangan dan menyebut pemerintah tidak mengindahkan hukum bila wacana pemberangusan dijalankan.
Usulan razia buku itu juga dianggap mengembalikan nuansa totaliter yang pernah diterapkan pemerintahan Orde Baru
"Buku tidak boleh dirazia kecuali telah diuji di pengadilan," ujarnya saat dihubungi, Kamis (24/01).
"Kalau tidak diuji, itu namanya kesewenang-wenangan. Tidak ada dasar hukum untuk melakukan razia buku," kata Anam.
Anam merujuk putusan Mahkamah Konsitusi tanggal 13 Oktober 2010 yang menyatakan UU 4/PNPS/1963 tidak berlaku lagi.
Beleid itu mengatur pengamanan barang cetakan yang isinya berpotensi menganggu ketertiban umum.
Anam mendesak Jokowi untuk menghentikan wacana razia buku yang diutarakan Jaksa Agung Prasetyo pada rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu lalu.
Menurut Anam, Jokowi berwenang campur tangan ke kejaksaan karena lembaga pengacara negara ini secara struktural berada di bawah presiden.
Apalagi, kata Anam, pemberangusan buku tidak sejalan dengan iklim demokrasi yang dirancang dan dijanjikan Jokowi dalam Nawa Cita.
"Ini persoalan presiden. Dia tidak boleh diam," tuturnya.
Tanpa dasar yang jelas, Jokowi dalam beberapa tahun terakhir kerap dikaitkan dengan PKI dan komunis.
Untuk menghadang yang disebutnya berita bohong (hoax) itu, Jokowi mengatakan "akan menggebuk" PKI jika partai tersebut kembali muncul setelah dilarang dan dibubarkan.
Meski berusaha membebaskan citra diri dari berita bohong soal PKI, Jokowi diklaim tak menggagas program apapun untuk menekan komunisme.
Rencana razia buku kiri oleh kejaksaan disebut sama sekali tak berhubungan dengan Jokowi, apalagi politis jelang pertarungan petahana itu dalam pilpres April mendatang.
"Rencana itu tidak ada kaitannya dengan pilpres dan justru sangat mengganggu alam demokrasi yang lebih bebas, yang diciptakan Jokowi," kata Maman Imanulhaq, anggota tim kampanye Jokowi-Maruf Amin.
"Jangan kaitkan ini dengan pernyataan Jokowi. Dia hanya mengatakan, orang yang menuduh atau menebar hoax harus diproses hukum, bukan soal buku berpaham kiri atau kanan," ujar Maman.
Bagaimanapun, pihak kejaksaan menolak disebut tak taat hukum dalam merancang proyek razia buku ini. Mereka mengklaim berhak mengawasi barang cetakan, seperti tertulis pada pasal 30 UU 16/2004 tentang kejaksaan.
Kejaksaan juga merujuk pasal 69 ayat 3 UU 3/2017 tentang perbukuan. Beleid itu memberi hak bagi kejaksaan untuk mengawasi substansi buku demi mewujudkan ketertiban dan ketentraman hukum.
"Untuk langkah preventif, kami akan mengamankan dan meneliti, bukan menyita," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Mukri.
Dalam penjelasan pasal 69 UU Perbukuan, pengawasan kejaksaan dinilai perlu untuk mencegah tindak pidana berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan.
Mukri menuturkan, buku yang masuk radar pengawasan kejaksaan bukan hanya yang berkonten komunisme, tapi juga aliran agama yang mereka anggap sesat.
Setelah mengambil sampel buku yang mereka duga bermasalah, Mukri mengklaim jaksa akan meneliti konten buku bersama sejumlah pakar dan akademisi.
Kejaksaan juga berwacana menggandeng Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam proses penelitian buku-buku tersebut.
"Kami amankan lalu teliti substansi bukunya. Jika menyangkut misalnya komunisme, kami serahkan pada ahlinya."
"Kalau benar, maka akan kami musnahkan. Kalau ada unsur pidana, akan kami serahkan ke penyidik Polri," tutur Mukri.
Kejaksaan belum dapat memastikan tenggat waktu pelaksanaan razia buku ini. Mukri menyebut pihaknya masih menyusun strategi.
Yang jelas, kata dia, jika suatu buku bermasalah nantinya ditemukan di lebih dari satu provinsi, kasus itu akan ditangani tim Kejaksaan Agung di Jakarta.
Dalam beberapa bulan terakhir, razia buku dilakukan di berbagai daerah. Bukan cuma kejaksaan, TNI dan Polri turut 'mengamankan' buku yang mereka nilai meresahkan.
Salah satu razia dilakukan di Padang, 8 Januari lalu. Satu dari tiga buku yang diambil paksa oleh aparat berjudul Mengincar Bung Besar: Tujuh Upaya Pembunuhan Presiden Sukarno.
Tim gabungan polisi, tentara, dan jaksa menganggap buku itu berkonten komunisme. Namun penilaian itu dimentahkan sejarawan yang menyebut buku itu berkisah tentang upaya pembunuhan Presiden Soekarno.
Adapun, razia buku kejaksaan menjadi polemik besar tahun 2010. Ketika itu kejaksaan bukan hanya menyita tapi juga melarang perederan lima buku, satu di antaranya Dalih Pembunuhan Massal - Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, karangan John Roosa.
Dua buku lain yang dilarang kejaksaan berjudul Enam Jalan Menuju Tuhan dan Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965.
Sisanya berjudul Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama dan Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri.
Buntut dari pelarangan itu, beleid pengamanan barang cetakan digugat ke MK, salah satunya oleh Hilmar Farid, sejarawan yang kini menjadi direktur jenderal kebudayaan di Kemeterian Kebudayaan.
Dalam putusan perkara tersebut, MK yang kala itu diketuai Mahfud MD, akhirnya mencabut UU 4/PNPS/1963. Namun sejak saat itu penyitaan dan razia buku masih terus terjadi.(bbc Indonesia)
No comments
Post a Comment