SAMO News

KRI Samadikun : Destroyer Escort AS Dengan Meriam Eks Uni Soviet

KRI Samadikun : Destroyer Escort AS Dengan Meriam Eks Uni Soviet

Berbagi berita ini ke teman



KRI Martadinata 342 – eks USS Charles Berry
Kawin silang di lini alutsista tentu bukan sesuatu yang tabu, sepanjang menghasilkan kinerja yang maksimal, ditambah tidak menuai komplein dari negara pembuatnya, hal itu bisa dilakukan secara efektif, bahkan mampu menambah daya gempur ketimbang versi aslinya. Implementasi kawin silang bisa dituangkan dalam banyak hal, semisal dalam program retrofit, menggabungkan antara cita rasa teknologi barat dan timur. Contoh yang paling mudah ‘dicerna’ yakni pemasangan meriam Cockerill 90mm pada tank Amfibi Korps Marinir TNI AL, PT-76.

Cockerill 90mm adalah jenis meriam modern buatan Brazil yang menggantikan meriam lama yang berkaliber 76mm pada PT-76. Kawin silang dalam retrofit alutsista membuktikan bahwa tenaga Indonesia cukup kreatif dalam memperpanjang usia alat tempur yang ada. Selain tank PT-76, campur sari dalam alutsista eks Uni Soviet bisa juga dilihat pada retrofit panser amfibi BTR-50, dan meriam anti serangan udara S-60 kaliber 57mm. Seolah menjadi kebiasaan di alutsista TNI, yang di retrofit adalah platform senjata/ranpur buatan eks Uni Soviet, dengan upgrade sistem teknologi barat. Tapi ada yang berbeda di lingkungan armada kapal perang TNI AL.

Pada 16 Desember 1974, lewat program FMS (foreign military sales), Amerika Serikat melimpahkan 4 unit kapal destroyer escort (perusak kawal) kelas Claud Jones kepada TNI AL. Empat kapal tersebut adalah USS Claud Jones (DE-1033), USS John R Perry (DE-1034), USS Charles Berry (DE-1035), dan USS McMorris (DE-1036). Dengan program FMS, Indonesia mendapat kemudahan dalam pengadaan dan proses kedatangan 4 perusak ini. Buat TNI AL, kedatangan perusak kawal ini menjadi sebuah anugrah, setelah sebagian besar armada kapal perang eks Uni Soviet yang dimilikinya lumpuh akibat embargo suku cadang pasca G-30S/PKI di tahun 1965.

Belum lama memperkuat TNI AL, armada perusak kawal ini sudah langsung dihadapkan pada operasi militer yang sesungguhnya di Tanah Air. Tepatnya di tahun 1975, terjadi pergolakan di Timor Timur, KRISamadikun – 341 (eks USS John R. Perry), KRI Martadinata – 342 (eks USS Charles Berry), KRI Monginsidi – 343 (eks USS Claud Jones), dan KRI Ngurah Rai – 344 (eks USS McMorris), dipersiapkan untuk mendukung pelaksanaan operasi Seroja. Meski punya label yang cukup sangar, destroyer escort yang dirancang pada era perang dingin ini terbilang rentan pada unsur pertahanan udara. Dari sinilah kemudian muncul ‘kreatifitas’ untuk meningkatkan kemampuan daya gempur keluarga perusak kawal ini.

Setelah kapal-kapal ini menjadi milik TNI AL, dilakukan pemasangan meriam kaliber 37mm dan 25mm, masing-masing adalah meriam berlaras ganda. Kedua meriam ini mempunyai spesifikasi utama sebagai meriam anti serangan udara, dan memang elemen senjata anti serangan udara pada versi default Claud Jones terbilang minim, dan rentan pada aspek pertahananan udara. Pemasangan kedua meriam ini dilakukan pada KRI Samadikun (341) dan KRI Martadinata (342).

Yang unik adalah meriam-meriam ini sejatinya dicopot dari kapal-kapal perang eks Uni Soviet yang sudah di-scrap. Meriam-meriam besutan Uni Soviet ini dipasang pada sisi buritan, menggantikan posisi meriam kaliber 76mm yang berada di belakang. Sebagai informasi, perusak kawal ini memang mengandalkan meriam kaliber 76mm laras tunggal, ada dua pucuk meriam 76mm, satu di haluan dan satu di buritan. Untuk sisi haluan (depan), meriam 76mm dilengkapi dengan turret (kubah), sedangkan meriam 76mm di buritan tidak dilengkapi dengan kubah.

Elemen senjata anti serangan udara kurang begitu diperhatikan, hanya terdapat 2 pucuk SMB (senapan mesin berat) kaliber 12,7mm, justru kapal perang yang punya andil dalam blokade saat krisisi Kuba di tahun 1962 ini, lebih fokus pada unsur kekuatan anti kapal selam dan anti permukaan. Ini dibuktikan dengan hadirnya 2 peluncur torpedo MK.32 atau MK.46, dimana masing-masing peluncur dilengkapi 3 tabung torpedo. Lalu masih ada lagi 2 pucuk mortar anti kapal selam Hedgehog MK11. Tapi tetap saja, yang menarik adalah keberadaan 2 jenis meriam eks Uni Soviet yang di implant ke kapal perusak buatan AS.

70K 37mm – versi naval laras ganda V-11
Meriam ini sudah tergolong sepuh jika saat ini masih digunakan, mulai dirancang pada akhir tahun 1930-an, dan digunakan secara aktif oleh Uni Soviet semasa Perang Dunia Kedua. Ada beberapa versi 70K 37mm yang dibuat, salah satunya adalah versi naval (angkatan laut). AL Uni Soviet mulai menggunakannya pada armada kapal penyapu ranjau kelas T301 sebelum invasi Jerman, dan terus memproduksinya hingga tahun 1955. Menurut informasi, 70K 37mm versi naval telah diproduksi sebanyak 3.113 pucuk, dan banyak dipakai oleh negara-negara sekutu Soviet.

Meriam 70K 37mm naval version dibuat dalam dua tipe laras, yakni laras tunggal dan laras ganda (twin barrel). Dan yang dipasang pada KRI Samadikun adalah jenis 70K 37mm laras kembar, atau disebut kode V-11-M. Mau tahu bagaimana kehandalan meriam ini? Untuk jarak tembak, bisa menjangkau 9.500 meter dengan jarak tembak efektif ke permukaan 4.000 meter. Sedangkan untuk melahap sasaran di udara, jarak tembak maksimumnya 6.700 meter dengan jarak tembak efektif ke udara sejauh 3.000 meter. Untuk kecepatan luncur proyektil, mencapai 880 meter/detik.

Meriam ini diawaki oleh 3 orang, secara teori dalam satu menit meriam ini dapat memuntahkan 160 sampai 170 peluru, walau dalam praktek rata-rata yang bisa dimuntahkan adalah 80 peluru per menit. Berat total meriam ini adalah 3.405Kg dengan panjang laras 2,3 meter. Sebagai meriam anti serangan udara V-11-M mempunyai sudut elevasi mulai dari -10 sampai 85 derajat. Ada beragam hulu ledak yang bisa dilepaskan, mulai dari FRAG-T, AP-T, HVAP, dan HE (high explosive). 50 negara tercatat menggunakan meriam ini, tak cuma sekutu Soviet, uniknya sekutu AS, seperti Israel dan Thailand pun ternyata ikut mengoperasikan jenis senjata ini. Saking larisnya, dikemudian hari Cina ikut memproduksi meriam ini berdasarkan lisensi, dan diberi kode type 65 (tanpa kubah), dan type 76 (dengan kubah) pada akhir tahun 1980-an.

2M3 twin 25mm – meriam ini masih dioperasikan manual
Meriam ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1953. Dioperasikan dengan sistem amunisi belt, meriam laras ganda ini terbilang banyak digunakan oleh negara-negara sekutu Soviet. Untuk membidik target, masih dilakukan secara manual dengan dukungan iron ring sight. Kehandalan meriam ini dapat dilihat dari jangkauan tembak permukaan yang bisa mencapai 3.250 meter, dan jarak tembak obyek udara mencapai 2.770 meter. Secara teori, jangkauan tembak maksimum bisa mencapai 3.400 meter. Secara teori, 2M2 25mm dapat memuntahkan 450 peluru per menit, meski dalam prakteknya hanya 270 peluru per menit.


Berat meriam ini mencapai 1.500Kg, mempunyai sudut elevasi mulai -10 sampai 85 derajat. Umntuk urusan amunisi, tersedia jenis AA, AA tracer, AP tracer. Untuk soal daya tahan, umur laras dapat digunakan hingga 12.000 tembakan, selanjutnya laras harus diganti. Agar tidak panas berlebih, laras mengusung pendingan udara. Lagi-lagi meriam ini diproduksi secara lisensi oleh Cina, dan diberi kode type 61.

Besar kemungkinan, 25mm twin gun yang dipasang untuk KRI Samadikun dan KRI Martadinata berasal dari meriam yang dulunya berada di armada kapal cepat kelas Komar. Kapal cepat dengan peluncur rudal anti kapal Styx ini dilengkapi 1 pucuk meriam 25mm untuk tiap kapalnya. Dan TNI AL memiliki 12 unit kapal cepat kelas Komar. Armada Komar menurut informasi resmi pensiun pada 1985. Bila suku cadang dinilai masih memadai, dan stock logistic amunisi lumayan banyak, maka wajar bila meriam ini kembali diberdayagunakan.

Samadikun Class – Sejarah Panjang Penuh Kenangan

Setelah dioperasikan oleh TNI AL, maka destroyer escort kelas Claud Jones berubah identitas menjadi perusak kawal kelas Samadikun, karena KRI Samadikun (341) merupakan kapal pertama di armada perusak ini. Dirunut dari sejarahnya, KRI Samadikun mulai diterima TNI AL pada 20 Februari 1973 dan resmi dipensiunkan TNI AL pada 8 September 2005. KRI Martadinata diterima TNI AL pada 31 Januari 1974 dan resmi pensiun dari TNI AL pada 8 September 2005. KRI Monginsidi diterima TNI AL pada 16 Desember 1974 dan pensiun dari TNI AL pada 2 Januari 2003, dan KRI Ngurah Rai diterima TNIAL pada 16 Desember 1974 dan pensiun di tanggal yang sama dengan KRI Monginsidi.

Sepanjang digunakan oleh TNI AL, kapal perang ini punya sumbangsih yang tak kecil, semisal dalam operasi Seroja, tepatnya pada 25 November 1975, perusak kawal KRI Martadinata (342) melakukan pemboman dengngan kanon 76mm (3 inchi) ke Atabae, Tailaco, dan daerah Simpang Tiga. Dalam penembakkan itu, kolonel Laut (P). Rudolf Kasenda bertindak sebagai spotter untuk memandu tembakan dari helikopter NBO-105 yang diterbangkan oleh Kapten Laut (P). Tony, seorang penerbang TNI AL.

Sebelumnya Claud Jones dilengkapi dua rak bom laut (depth charges) yang biasa dilepas di buritan, total 18 bom laut bisa dibawa. Tapi seiring modernisasi, bom laut disingkirkan dan digantikan roket/mortir anti kapal selam Hedgehog MK11.

Dikutip dari buku Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur, karya Hendro Subroto, menurut R. Kasenda, dalam rapat gabungan di Kupang pada tanggal 4 Desember 1975, telah diputuskan bahwa kapal perang TNI AL tidak melakukan penembakan dari laut. Namun demikian, disebabkan faktor kerahasiaan dan pendadakan kedatangan Komando Tugas Amfibi diketahui lawan, akhirnya Birgjen Suweno selaku Pangkogasgab memerintahkan penembakan ke pantai. Pertimbangan penembakan ini dilakukan untuk menurunkan moril lawan dan mengangkat moril pasukan di bawah komandonya. Dalam misi pendaratan ini, KRI Martadinata menembakkan kanon 76mm.

Selain KRI Martadinata, dalam operasi Seroja, KRI Monginsidi juga banyak berperan, seperti dalam misi-misi awal kehadiran TNI diawal berkecamuknya konflik horizontal di Timor Timur, “Berangkat secepatnya ke Surabaya, telah disediakan satu destroyer dengan satu kompi marinir untuk berangkat ke Dili. Selamatkan dan ungsikan konsul Indonesia beserta seluruh staf dan keluarganya. Keadaan sangat gawat, pertempuran telah mencapai ibu kota Timor Timur (Timtim). Tugas supaya dilaksanakan secara bijaksana dengan mempertimbangkan masalah-masalah diplomatik.

23 Agustus 1975 pukul 15:00 WIB ketua misi sampai di Surabaya, dijemput Assintel Armada Letkol (P) Moh. Arifin di Bandara Juanda. Ketua misi langsung menuju ke pangkalan AL. Di sana telah menunggu Panglima Armada Laksamana Rudi Purwana. Panglima menerangkan, kapal baru saja selesai mengisi bahan bakar dengan menggunakan mobil-mobil tangki sipil, karena Armada kekurangan mobil seperti itu. Pasukan marinir juga belum lengkap, karena para anggota yang bediam di luar kota sedang dijemput.

Pada pukul 17:00 WIB, kompi marinir telah siap dan berbaris dengan rapi di kade. Setelah laporan kepada Panglima Armada, dengan teratur mereka menaiki tangga KRI Monginsidi. Pada pukul 18:00 WIB kapal mulai bergerak berlayar perlahan menuju Laut Jawa. Malam pertama diisi taklimat mengenai tugas yang diemban kepada para perwira dan komandan kompi marinir.

26 Agustus 1975 pukul 20:00 WIB, KRI Monginsidi meninggalkan Atapupu dan berlayar perlahan menuju ke arah timur. Kira-kira pukul 23:30 WIB, kapal sudah mendekati kota Dili yang semua lampunya terlihat padam. Tembakan-tembakan mortir sudah mulai terdengar beserta kobaran-kobaran api di daerah pegunungan yang tadinya terlihat samar-samar sudah mulai tampak terang.

Pada saat gawat itulah misi Indonesia datang dengan kapal destroyer Monginsidi dan muncul di depan kota dengan lampu-lampu menyala.

Kapal perusak ini mulai dibangun pada tahun 1955, dan masuk dinas US Navy pada 1959. Meski tidak dilengkapi rudal, perusak kawal ini banyak dilengkapi sensor, terutama sensor bawah air untuk memburu kapal selam. Kapal ini diawaki 171 orang (dengan 12 perwira), punya kemampuan jelajah 7.000 mil laut dengan kecepatan maksimum 22 knot yang dihasilkan dari 4 mesin diesel (Fairbanks-Morse 38ND8 diesels). Saat digunakan oleh TNI AL, armada Claud Jones sudah pernah dilakukan re-engine untuk mengganti mesin yang sudah tua.

Perusak kawal ini bukan senjata ‘kelas dua’ dimasanya, buktinya AS mempercayakan USS Claud Jones pada 1960 untuk menyisir pantai Timur Karibia lalu menyusur ke wilayah utara Eropa untuk bergabung dengan armada NATO. Saat krisis misil Kuba pada 1962, Claud Jones berperan sebagai kapal pemimpin operasi dalam kampanye blokade laut terhadap Kuba. Keluarga kapal Claud Jones juga aktif mendukung operasi militer di Vietnam, salah satunya dalam operasi ‘Sea Dragon’ dalam memberi bantuan tembakan kapal.

Penulis sendiri pernah melihat dari dekat KRI Ngurah Rai dalam defile Arung Samudra di tahun 1995, dan pernah melihat beberapa Samadikun class saat menjalani masa docking di dermaga Ujung – Surabaya pada tahun 1997.Saat ini semua perusak kawal ini sudah tak lagi digunakan, teknologinya pun sudah sangat ketinggalan untuk konteks masa kini, dan TNI AL memutuskan untuk men-scrap kapal-kapal ini. Besar harapan saya, agar paling tidak ada satu Claud Jones yang tetap dipertahankan oleh TNI AL, dan dibangun untuk menjadi museum apung. Mengingat sejarahnya yang panjang, semoga saja ide ini bisa direalisasi, sehingga generasi muda dapat mengetahui dan merasakan langsung kebesaran TNI AL di masa lalu, melengkapi keberadaan monumen kapal selam (monkasel).(Haryo Adjie Nogo Seno)

Spesifikasi Claud Jones Class
Tipe : Destroyer escort
Produksi : Avondale shipyard, AS
Berat (kosong) : 1314 ton
Berat (penuh) : 1916 ton
Tinggi : 11,3 meter
Panjang : 95 meter
Lebar : 5,5 meter
Mesin : 4 Fairbanks-Morse 38ND8 diesels
Jarak jelajah : 7.000 mil laut dengan kecepatan 12 knot
Kecepatan max : 22 knot
Radar : SPS-6E-2D Air Search
Sonar : EDO 786, SQS-45(V), SQS-39(V), SQD-42(V)
Awak : 171 (12 perwira)

No comments