SAMO News

Ada Apa Dengan Papua ?

Ada Apa Dengan Papua ?

Berbagi berita ini ke teman



SAMO News : Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo berusaha menggenjot pembangunan di Papua, yang terdiri dari Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, terutama lewat proyek infrastruktur.
Namun pendekatan tersebut dianggap tidak manjur untuk mengatasi tuntutan pemisahan diri Papua dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik di Papua sendiri maupun di luar negeri.
"Saya pikir pemerintah terlalu menggampangkan masalah Papua. Pemerintah melihat Papua itu hanya dari aspek pembangunan ekonomi, infrastruktur dan lainnya. Mereka mengabaikan fakta bahwa ada perbedaan pandangan yang tajam terkait dengan sejarah Papua," kata Ketua II Dewan Adat Papua, Fadal Al Hamid, dalam wawancara melalui telepon, Kamis (30/11)




Sejarah Papua yang dimaksud adalah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) tahun 1969, penentuan pendapat yang hasilnya menyebutkan rakyat Papua menghendaki sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia.
"Pemerintah menganggap masalah ini sudah selesai, sementara sebagian rakyat Papua menganggap bahwa apa yang terjadi di tahun 1969 adalah aneksasi bukan proses integrasi."




Dukungan internasional 'semakin luas'

Oleh karenanya, lanjut Fadal Al Hamid, aspirasi merdeka tetap hidup meskipun pembangunan digalakkan di Papua, termasuk menggelontorkan dana otonomi khusus sekitar Rp7 triliun untuk tahun 2017, belum termasuk dana-dana lain.
"Teriakan-teriakan merdeka itu bukan mereda tetapi sebenarnya dibungkam, tetapi bahwa di luar, eskalasinya sangat tinggi sekali. Artinya, ada kampanye dan dukungan-dukungan internasional semakin luas dan semakin terbuka," jelasnya.






Fenomena itu, menurutnya, bertolak belakang dengan maksud pemerintah pusat yang hendak meredam tuntutan pemisahan diri. Pembangunan infrastruktur diharapkan dapat mendongkrat pengembangan ekonomi di daerah tertinggal itu sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masayarakat.
Dan pada akhirnya, peningkatan kesejahteraan diharapkan dapat meredam tuntutan pemisahan diri dari Republik Indonesia.
Namun, menurut Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua Ajun Komisaris Besar Polisi Suryadi Diaz, berdasarkan pemantauan di lapangan tidak benar jika dikatakan bahwa tuntutan pemisahan diri di Papua meningkat belakangan.
"Ini hanya kelompok tertentu dan orang-orang tertentu. Kalau pada umumnya di sini tidak ada yang menyetujui itu. Hanya kelompok tertentu dan orang-orang tertentu yang merasa, katakanlah, mereka menganggap tidak adil karena memiliki tanah yang subur dan mempunyai tambang emas di dalamnya tapi mereka miskin," tegasnya.


Dialog Papua
Pendekatan pembangunan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat Papua, kata Fadal Al Hamid, memang sahih dilakukan tetapi harus dibarengi dengan terobosan politik menyangkut sejarah Papua melalui dialog yang sejati.



"Dialog itu harus ada pihak ketiga yang memediasi, orang Papua dan pemerintah Indonesia duduk dalam satu meja untuk membicarakan hal-hal yang dianggap tabu selama ini dan berusaha untuk menemukan solusi-solusi apa yang bisa dilakukan bersama."
Staf khusus presiden RI tahun 2009-2014 untuk urusan Papua, yang kini menjadi Perencana Pengembangan Wilayah Tertinggal di Bappenas, Dr. Velix Wanggai, mengakui pemerintah mempunyai tugas berat dalam mengelola isu pelurusan sejarah menjadi final.
Bagaimanapun Presiden Joko Widodo sudah menyarankan agar dialog masalah Papua terus dibangun dan ruang itu seharusnya dimanfaatkan.
"Kami melihat bahwa dari satu sisi Perpera adalah sebuah fakta hukum bahwa itu sudah final dalam konteks persepsi pemerintah tetapi sebagian dari sudara-saudara kita masih menghendaki pelurusan sejarah," jelasnya dalam wawancara melalui telepon, Kamis (30/11).
"Kita, pemerintah sudah saatnya untuk terbuka tentang berbagai persoalan yang dianggap politik atau yang krusial dalam konteks agenda pelurusan sejarah Papua tetapi juga dalam konteks menyelesaikan fenomena internasionalisasi isu Papua di berbagai forum dunia maupun forum regional."




Di antara upaya internasionalisasi Papua di kancah internasional termasuk 'penyerahan' petisi tentang referendum -yang diklaim dudukung oleh sekitar 1,8 juta warga Papua- kepada Komite Dekolonisasi PBB.
Namun Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York membantah petisi secara sah diserahkan kepada komite itu pada akhir September.
Dengan petisi itu, diharapkan, antara lain, bahwa Papua masuk kembali dalam daftar di Komite Dekolonisasi PBB, setelah dikeluarkan dari daftar tahun 1963 menyusul langkah yang disebut sebagai invasi atau integrasi Indonesia.
Di dalam wilayah Papua dan sebagian kota-kota lain di Indonesia, biasa digelar protes menuntut referendum kemerdekaan.
Sejumlah kelompok masyarakat sipil Papua rencananya hari ini, Jumat (01/12) akan menggelar doa bersama di Papua untuk memperingati hari yang diperingati setiap tahun untuk mengangkat tuntutan kemerdekaan bagi Papua.
Namun dalam tahun-tahun sebelumnya, peringatan biasanya juga diwarnai protes dan pengibaran bendera bintang kejora sebagai simbol kemerdekaan.
Oleh karena itu, aparat keamanan, Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua Ajun Komisaris Besar Suryadi Diaz, bersiaga satu, di seluruh Papua.



Sumber berita: BBC Indonesia




No comments