SAMO News -- Di tengah panasnya diskusi, seorang perwakilan dari negara Afrika berdiri dan berkata, “Karena kemanusiaan sangat bergantung pada siapa yang menjadi presiden AS, mengapa tak seluruh dunia saja yang memilihnya?”
Sacara mengejutkan, usulan tersebut tak disambut tawa, melainkan persetujuan. Kala itu — berbeda dengan situasi di AS karena sebulan kemudian George Bush kembali terpilih sebagai presiden AS untuk periode empat tahun berikutnya — Bush sangat tak disukai di panggung internasional dan dalam acara pemilihan ‘universal’ ia tak akan mendapat kesempatan menang.
Munculnya pertanyaan itu sendiri merefleksikan dengan sempurna persepsi mengenai situasi yang terbentuk setelah Perang Dingin. Kandidat mana pun yang menang kala itu, sekalipun tak disukai, ia jelas akan menjadi politikus paling penting di dunia. Kini semua negara di dunia kembali mengikuti kampanye presiden Amerika — menahan napas. Namun, ini pertama kalinya dalam seperempat abad terakhir, para kandidat memiliki perbedaan mengenai peran yang harus dimainkan Amerika di panggung dunia.
Kepemimpinan global Amerika dianggap sebagai harga yang harus dibayar atas upaya "menyebarkan" demokrasi yang dimulai 25 tahun lalu. Sementara, ada banyak pemain luar yang mempertanyakan kepemimpinan AS itu sendiri. Di AS pun muncul kelompok yang tak paham mengapa negaranya perlu melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah negara lain padahal masih ada banyak masalah yang perlu diperhatikan di dalam negeri.
Itulah mengapa kampanye pemilu kali ini sangat khusus. Jelas ini diarahkan untuk pemilih, tapi pada saat yang sama, juga diarahkan pada khalayak asing yang harus diyakinkan bahwa Amerika tak bermaksud melepaskan kepemimpinan globalnya. Sejujurnya, bagaimanapun, tak ada pemahaman jelas mengenai bagaimana kepemimpinan tersebut harus dicapai di masa depan.
Seruan Mantan Sekjen NATO
Minggu lalu, muncul sebuah kontroversi menarik yang terbongkar antara Barack Obama, yang bicara di Sidang Umum PBB, dan mantan Sekretaris Jenderal NATO Jenderal Anders Fogh Rasmussen, yang memublikasikan artikel di The Wall Street Journal.
Bicara di panggung PBB adalah hal yang biasa bagi Obama. Ia selalu menekankan peran khusus yang dimainkan negaranya, menyebutkan semua kontribusi besarnya pada kemanusiaan. Namun, ia juga terus memiliki pesan lain. Ia berkata bahwa Amerika bukanlah negara yang mahakuasa, bahwa dunia unipolar bukan sebuah norma, melainkan sebuah pengecualian, dan Amerika telah membuat kesalahan. Dualitas Obama dan pencariannya akan pendekatan yang seimbang menunjukkan bahwa ia menyadari betapa multidimensinya dunia saat ini lebih dari orang-orang sebangsanya.
Namun, hal yang penting bagi akademisi jarang menguntungkan politikus publik. Obama, yang mulai menjadi perwujudan era baru, terus mencoba untuk menurunkan ekspektasi masyarakat saat ia diharapkan menampilkan posisi yang tepat dan menjanjikan hasil yang jelas. Pada akhirnya, semua orang tak bahagia — tak hanya musuhnya yang menuduh kebijaksanaan dan kehati-hatian sang pemimpin sebagai kelemahan dan pengelakan, tapi juga pendukungnya yang menilai ia tak berbuat banyak.
Rasmussen, di sisi lain, memahami segalanya, layaknya orang neokonservatif ideologis. Ancaman berkembang, teroris semakin kuat, Rusia semakin ‘lancang’, dan Tiongkok menginginkan pengaruh global — seseorang harus mengakhiri ini semua.
Home
Berita Utama
INTERNASIONAL
Mengapa Pemilu AS Dibesar-besarkan? Amerika Bukan Pemimpin Dunia Lagi
Mengapa Pemilu AS Dibesar-besarkan? Amerika Bukan Pemimpin Dunia Lagi
Berbagi berita ini ke teman
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
No comments
Post a Comment