Pernyataan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen (Purn) Kivlan Zen yang menyebut Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali bangkit. Mendapat Reaksi Nitizen begitu keras ada yang pro ada yang kontra dalam menanggapi munculnya isue Komunisme, Suara-suara penolakan terhadap paham komunisme menguat dalam beberapa pekan terakhir, namun tampaknya perhatian netizen yang ramai tersebar di jejaring media sosial. Bahkan ada beberapa menteri ikut bereaksi. Benarkah Partai Komunis Indonesia mulai bangkit dengan gaya baru untuk mengisi ruang kosong bumi pertiwi Indonesia ??
Anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Beathor Suryadi mengajak kader-kader partai lain untuk mencabut TAP MPRS No XXV/ 1966., adalah membuka luka lama Rakyat Indonesia korban-PKI 1948-1965. Seperti diketahui, TAP MPRS No XXV/ 1966 yakni Ketetapan Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai Organisasi terlarang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunisme/ Marxisme-Lenininisme. Ketika zaman Gusdur juga ada wacana demikian, namun karena masyarakat dan sebagian besar anggota DPR menolak, akhirnya Gusdur juga menolak TAP MPRS itu dicabut.
Sebuah seminar dengan tema 1965 Massacre: Unveiling The Truth Demanding Justice (Pembantaian 1965: Mengungkap Kebenaran, Menuntut Keadilan) digelar di Den Haag, Belanda.
Acara yang berlangsung satu hari, tanggal 10 April 2015 itu bertempat di gedung tua Nieuwe Kerk yang dibangun pada abad ke-17 sebagai gereja utama di Den Haag, dan dipugar menjadi pusat kongres dan konser musik. Penyelenggaranya adalah Yayasan IPT 1965, nama panjangnya: International People’s Tribunal on 1965 Crimes Against Humanity in Indonesia. Tujuan pembentukan yayasan ini untuk melakukan penelitian dan diskusi publik yang menurut mereka sebagai pembantaian 1965 terkait PKI, lalu mengajukan gugatan terbuka kepada pemerintah Indonesia sebagai suatu Pengadilan Rakyat. Mereka memandang ratusan ribu warga Indonesia yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) ketika itu dibunuh. Pada tahun-tahun selanjutnya, simpatisan dan anggota keluarganya diasingkan dan distigmatisasi. Jumlah korban Peristiwa 1965 tidak diketahui jelas, karena pengusutan tentang itu menjadi hal tabu selama pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto.
Mantan Menteri Bantuan Pembangunan Belanda Jan Pronk mengungkapkan, mengapa Belanda lebih banyak memilih diam terkait kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Indonesia tahun 1965. Sebagai negara bekas penjajah, Belanda ingin tampil hati-hati dan menjaga kepentingan bisnis dan investasinya yang cukup besar di wilayah Indonesia.
Professor Saskia Wieringa dalam acara hari Jumat 10 April di Den Haag itu mengakui, tema ini adalah isu yang sangat sensitif di Indonesia. Hal itu juga disampaikan Jan Pronk, yang mengatakan, Belanda juga melakukan kejahatan perang di Indonesia.
Gerry van Klinken, peneliti dari Universitas Leiden, menerangkan bahwa peristiwa 1965 bukan hanya suatu “kejahatan militer” atas warga seperti yang selama ini sering digambarkan. “Peristiwa ini adalah indikasi, bahwa ketika itu terjadi perpecahan besar dalam masyarakat,” kata Gerry.
Peristiwa Madiun
Sementara perhatian semua pihak pro-pemerintah terkonsentrasi pada pemulihan Surakarta, pada 18 September 1948, PKI/FDR menuju ke arah timur dan menguasai Kota Madiun, Jawa Timur, dan pada hari itu juga diproklamasikan berdirinya "Republik Soviet Indonesia". Hari berikutnya, PKI/FDR mengumumkan pembentukan pemerintahan baru. Selain di Madiun, PKI juga mengumumkan hal yang sama pula di Pati, Jawa Tengah.
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Sjarifuddin karena kabinetnya tidak mendapat dukungan lagi sejak disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir beserta kelompok-kelompok sayap kiri lainnya tidak setuju dengan pergantian kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis Indonesia yang lama tinggal di Unisovyet (sekarang Russia) ini memjelasan tentang “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menawarkan gagasan yang disebutnya “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama yang bersejarah, yakni PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut "Komite Front Nasional". Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan Siliwangi yang ada di sana.
Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk menyebarkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kelompok kiri lainnya berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya. Pemberontakan ini menewaskan Gubernur Jawa Timur RM Suryo, dokter pro-kemerdekaan Moewardi, serta beberapa petugas polisi dan tokoh agama
Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat. Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa, selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution.
Rekomendasi Simposium 1965 di tengah kecurigaan terhadap PKI dan komunisme
Di tengah kontroversi tindakan aparat terkait dugaan penyebaran ajaran komunisme, panitia tragedi Simposium 1965 akan menyerahkan rumusan rekomendasinya kepada pemerintah melalui Menkopolhukam Luhut Panjaitan, pada Rabu (18/05) sore.
Melalui pesan tertulis yang diterima BBC Indonesia, Deputi Menkopolkam bidang koordinasi komunikasi informasi dan aparatur, Agus R Barnas, membenarkan bahwa pihaknya akan menerima panitia pengarah Simposium 1965 sekitar pukul 16.00 WIB, Rabu sore.
Secara terpisah, ketua panitia pengarah Simposium 1965, Agus Widjojo, membenarkan bahwa pihaknya akan diterima oleh Menkopolhukam Luhut Panjaitan terkait rumusan rekomendasi simposium tersebut. "Kemarin sudah diberitahu, tinggal menunggu kepastian waktunya," kata Agus Widjojo kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Rabu siang, melalui saluran telepon.
Agus Widjojo tidak bersedia mengungkapkan rumusan rekomendasi, karena pihaknya tidak berwenang mempublikasikannya kepada publik. "Itu hak prerogatif pemerintah untuk membukanya kepada publik atau tidak," katanya.
Ditanya apakah rumusan rekomendasi itu akan menyinggung soal penyelesaian non-judisial terkait tragedi 1965, Agus mengatakan: "Dari awal, kita sudah menjurus penyelesaian non-judisial, karena tragedi 65 memenuhi persyaaratan untuk diselesaikan secara non-judisial."
Namun demikian, sambungnya, rumusan rekomendasi simposiumi '65 " tidak bersifat praduga dengan proses hukum (tragedi 1965) yang sudah berjalan dan sedang berjalan".
'Keterlibatan negara'
Simposium tragedi 1965, yang berakhir pada pertengahan April lalu, disponsori oleh pemerintah dan diharapkan dapat menyelesaikan peristiwa kekerasan pasca Oktober 1965 terhadap orang-orang yang dituduh simpatisan atau anggota PKI.
Sebelum ditutup, hasil refleksi yang dibacakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden sekaligus penasihat simposium 1965, Sidarto Danusubroto, mengungkapkan walaupun peristiwa itu diwarnai aksi horisontal, tetapi diakui ada keterlibatan negara.
Selain dihadiri sejumlah menteri pada acara pembukaan, simposium yang berlangsung dua hari sempat diwarnai unjuk rasa 'anti PKI' tetapi berhasil dihalau oleh aparat kepolisian.
Dihadiri oleh perwakilan penyintas atau korban kekerasan pasca Oktober 1965, eks tapol '65, aktivis HAM, serta perwakilan pemerintah, simposium memberi tempat khusus pada penyelesaian non-judisial terhadap tragedi tersebut.(BBC Indonesia)
No comments
Post a Comment