Mayor Jenderal Zahari Siregar
Islam Times- Saat ini juga saya perintahkan ke semua jajaran Kodam Iskandar Muda untuk menarik prajurit-prajurit TNI yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan yang ada di Aceh, katanya. Dit
arik begitu saja? Tentu tidak.
Baru sebulan lebih menjabat sebagai panglima tentara di Aceh, Mayor Jenderal Zahari Siregar mengobati kerinduan besar orang banyak pada sosok serdadu berkarakter. Pekan lalu, di hadapan juru warta, dia memfatwakan penarikan serdadu dari kebun-kebun sawit milik perkebunan swasta di seantero provinsi.
Saat ini juga saya perintahkan ke semua jajaran Kodam Iskandar Muda untuk menarik prajurit-prajurit TNI yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan yang ada di Aceh, katanya. Ditarik begitu saja? Tentu tidak. Zahari bilang mereka yang ditarik harus kembali menjalani penggodokan fisik dan kemampuan militer di kesatrian militer.
Biar fisik mereka sehat, mata selalu menteleng; katanya menyebut dinas serdadu di kebun sawit hanya akan mengundang sakit dan fisik lemah.
Dalam banyak hal, fatwa Zahari ini jelas sebuah terobosan besar.
Dalam beberapa dekade terakhir, sudah jadi rahasia umum kalau serdadu kerap merangkap tugas mengawal perkebunan sawit, area penambangan kayu, kawasan pertambangan emas, batu bara, nikel, dan bisnis triliunan rupiah lainnya--dan serdadu dapat uang jasa dari semua itu. Hal yang termasuk fenomenal adalah kehadiran ribuan serdadu mengawal kawasan pertambangan emas Freeport di Papua. Di Aceh sendiri, sudah jadi rahasia umum kalau perusahaan sawit adalah sumber dana kedua organisasi tentara.
Mereka menutup kekurangan jatah anggaran untuk serdadu di Aceh dengan mempekerjakan serdadu itu.
Anggaran yang terlampau minim ini berujung pada kreativitas komandan di lapangan. Konflik jadi tak terhindarkan. Sebab yang membayar kerap punya persoalan dengan masyarakat dan mendapat untung dari tentara yang siap dengan senjata lengkap.
Fatwa Mayjen Zahari jelas sebuah awal yang baru. Persoalannya, adakah fatwa itu bakal diadopsi Cilangkap dan markas polisi di Jakarta?
Baru sebulan lebih menjabat sebagai panglima tentara di Aceh, Mayor Jenderal Zahari Siregar mengobati kerinduan besar orang banyak pada sosok serdadu berkarakter. Pekan lalu, di hadapan juru warta, dia memfatwakan penarikan serdadu dari kebun-kebun sawit milik perkebunan swasta di seantero provinsi.
Saat ini juga saya perintahkan ke semua jajaran Kodam Iskandar Muda untuk menarik prajurit-prajurit TNI yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan yang ada di Aceh, katanya. Ditarik begitu saja? Tentu tidak. Zahari bilang mereka yang ditarik harus kembali menjalani penggodokan fisik dan kemampuan militer di kesatrian militer.
Biar fisik mereka sehat, mata selalu menteleng; katanya menyebut dinas serdadu di kebun sawit hanya akan mengundang sakit dan fisik lemah.
Dalam banyak hal, fatwa Zahari ini jelas sebuah terobosan besar.
Dalam beberapa dekade terakhir, sudah jadi rahasia umum kalau serdadu kerap merangkap tugas mengawal perkebunan sawit, area penambangan kayu, kawasan pertambangan emas, batu bara, nikel, dan bisnis triliunan rupiah lainnya--dan serdadu dapat uang jasa dari semua itu. Hal yang termasuk fenomenal adalah kehadiran ribuan serdadu mengawal kawasan pertambangan emas Freeport di Papua. Di Aceh sendiri, sudah jadi rahasia umum kalau perusahaan sawit adalah sumber dana kedua organisasi tentara.
Mereka menutup kekurangan jatah anggaran untuk serdadu di Aceh dengan mempekerjakan serdadu itu.
Anggaran yang terlampau minim ini berujung pada kreativitas komandan di lapangan. Konflik jadi tak terhindarkan. Sebab yang membayar kerap punya persoalan dengan masyarakat dan mendapat untung dari tentara yang siap dengan senjata lengkap.
Fatwa Mayjen Zahari jelas sebuah awal yang baru. Persoalannya, adakah fatwa itu bakal diadopsi Cilangkap dan markas polisi di Jakarta?
No comments
Post a Comment