SAMO News

Tol Trans Jawa dan Denyut Nadi Pantura, Dirintis Sejak 1978

Tol Trans Jawa dan Denyut Nadi Pantura, Dirintis Sejak 1978

Berbagi berita ini ke teman

JAKARTA SAMO News - Indonesia akan membutuhkan jalan tol sepanjang 1.150 kilometer untuk menghubungkan Merak di ujung barat hingga Banyuwangi di ujung timur Pulau Jawa. Hingga saat ini, jalan yang sudah terbangun dari Merak hingga Pasuruan sepanjang 933 kilometer. Proses pembangunannya dilakukan sejak 1978 hingga akhir tahun ini.
Sepanjang 242 kilometer dibangun periode 1978-2004, kemudian 75 kilometer dibangun pada 2005-2014, dan 616 kilometer dibangun periode 2015-2018. Sisa Pasuruan-Banyuwangi sepanjang 217 kilometer direncanakan akan selesai pada 2021. “Rampungnya jalan tol ini saya harapkan memiliki efek terhadap perekonomian, terutama untuk kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus,” kata Jokowi dalam pernyataan resminya.
Tol Trans Jawa memang bermakna besar bagi pengguna jalan untuk membelah pulau ini. Perjalanan kini dapat dihemat berjam-jam, tergantung kota asal dan tujuan. Jalur Pantura yang padat, penuh dengan kendaraan besar, lampu merah, tumpukan kendaraan di pasar, hingga hilir mudik sepeda motor menghambat perjalanan. Jika beruntung, pemakai jalan bisa memacu kendaraan pada kecepatan rata-rata 50 kilometer per jam. Di jalan tol, kecepatan mobil bisa dipacu hingga rata-rata 90 kilometer per jam.
Agil Bani Hasyim, salah satu pengguna tol Trans Jawa  mengatakan, perjalanan kali ini jauh lebih nyaman. “Jalannya bagus, cepat dan lancar. Secara keseluruhan, ya, nyamanlah untuk perjalanan jauh.”
Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik, Universitas Gadjah Mada, Prof Nur Yuwono menyebut, tol Trans Jawa akan mengurangi beban jalur Pantura secara signifikan. Meski berbayar, biaya itu bisa disisihkan pengguna jalan dari pengurangan biaya bahan bakar karena mobil yang melaju lebih cepat dan lancar lebih hemat. Selain itu, pengguna jalan juga memperoleh manfaat lain yaitu penghematan waktu.

Presiden Joko Widodo meninjau ruas jalan tol di KM 671, Kamis, 20 Desember 2018. (Foto courtesy: Setpres RI.)
Presiden Joko Widodo meninjau ruas jalan tol di KM 671, Kamis, 20 Desember 2018. (Foto courtesy: Setpres RI.)
Dari sisi pemerintah, jalan tol ini akan memotong biaya pemeliharan jalur Pantura yang setiap tahun rusak karena tak mampu menahan beban kendaraan yang terlalu padat.
“Harapannya, jalan tol ini digunakan oleh masyarakat yang memang membutuhkan kecepatan tinggi, tetapi ada biaya tambahan, itu pertama. Kedua, jalur Pantai Utara ini jalannya setiap tahun kan rusak, akibat beban berat, karena dilalui oleh truk-truk dan kendaraan berat lainnya. Tol ini mampu mendukung beban berat itu. Dengan kehadiran tol ini, daerah-daerah sepanjang jalur Pantura yang bukan tol, masih bisa dilalui oleh kendaraan lain, tetapi dengan kepadatan yang jauh berkurang,” kata Nur Yuwono.
Jalur Pantura dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1808. Awalnya diberi nama Jalan Raya Pos, membentang dari Anyer hingga Panarukan. Tujuannya adalah menghubungkan kota-kota di Jawa sekaligus bagian dari strategi melawan serangan Inggris. Saat ini, hingga 70 ribu kendaraan diperkirakan melalui jalur ini setiap hari.
Dalam pandangan Nur Yuwono, tol Trans Jawa sebenarnya terlambat dibangun. Belanda sejak awal sangat menyadari peran penting infrastruktur transportasi sehingga jalan raya dan jalan kereta api menjadi salah satu prioritas. Sesudah Indonesia merdeka, kesadaran semacam ini pelan-pelan hilang. Jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa bukannya bertambah, bahkan banyak yang hilang.
Meskipun terlambat, Yuwono mendorong Presiden Jokowi untuk mengabaikan kritik pembangunan jalan dan terus mengejar ketertinggalan. Melalui Trans Jawa, misalnya, industri dapat dikembangkan ke daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. Misalnya kawasan industri di Kabupaten Kendal yang akan sangat terbantu dengan kehadiran tol ini. Beban industri di kawasan sekitar Jakarta akan turun, seiring terbukanya akses ke daerah yang selama ini minim infrastruktur.
Terkait tol Trans Jawa, kata Yuwono, tantangannya adalah menata kebijakan agar usaha kecil seperti rumah makan dan makanan khas daerah, memiliki akses penjualan di area istirahat.
“Sudah waktunya jalan tol dimanfaatkan sepenuhnya untuk masyarakat lokal. Rest area itu harus menjual makanan yang khas daerah masing-masing, jangan diambil menu lain. Kalau disajikan dengan kualitas yang bagus, tentu akan sangat menarik,” kata Yuwono.
Jokowi sendiri mungkin sudah memahami, bahwa akan ada resiko bagi rumah makan dan pusat oleh-oleh di kota-kota yang selama ini dilewati jalur Pantura. Pilihannya untuk makan pecel Madiun dan Sate Ponorogo di area istirahat, adalah jawaban yang coba dia berikan.​ [ns/em]

No comments