SAMO News - Kecaman terhadap langkah Presiden Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel terus berlanjut. Kecaman kini datang dari Uni Eropa dan Presiden Rusia, Vladimir Putin. Presiden Putin mengatakan keputusan Presiden Trump bisa 'menghapus prospek perdamaian' antara Israel dan Palestina.
"Baik Rusia maupun Turki meyakini bahwa keputusan (Presiden Trump) ini tidak membantu mendorong situasi (yang kondusif) di Timur Tengah. Justru menambah rumit," kata Putin.
"Ini bisa merusak proses perdamaian Israel-Palestina," tambahnya.
Erdogan mengatakan dirinya dan Putin mengambil pendekatan yang sama atas masalah ini dan ia secara khusus menuduh Israel 'sengaja menyiram minyak ke bara api'.
"Israel menggunakan kesempatan ini untuk menekan dan melakukan tindak kekerasan terhadap warga Palestina," kata Erdogan.
Di tempat terpisah, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, mengatakan bahwa Uni Eropa 'bersatu mendukung Yerusalem sebagai ibu kota baik Israel maupun negara Palestina di masa depan'. Ia menegaskan Uni Eropa tidak akan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel hingga dicapai kesepakatan perdamaian Israel-Palestina, yang mencakup status akhir kota tersebut.
Bukan hanya pemimpin negara dunia yang menentang kebijakan Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, sebagian komunitas Muslim dan Yahudi AS pendukung hak-hak rakyat Palestina bersatu menolak kebijakan yang dinilai merugikan rakyat Palestina.
Trump terkucil?
Hal ini ia sampaikan ketika menerima kunjungan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di Brussels, hari Senin (11/12).
"Saya sudah menyampaikan kepada PM Netanyahu bahwa posisi Uni Eropa adalah memegang 'konsensus internasional' terhadap Yerusalem ... satu-satunya solusi realistis atas masalah ini adalah solusi dua negara, dengan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Palestina, sesuai dengan garis 1967," papar Mogherini.
Netanyahu melawat ke Brussels mendesak negara-negara anggota Uni Eropa mengikuti keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
"Apa yang dilakukan Presiden Trump adalah mengemukakan fakta kepada kita semua ... perdamaian harus didasarkan pada realitas. Perdamaian didasarkan pada pengakuan realitas. Realitasnya adalah Yerusalem adalah jelas-jelas ibu kota Israel," kata Netanyahu.
Berbagai aksi unjuk rasa digelar di Timur Tengah dan juga di sejumlah negara untuk memprotes keputusan Trump, termasuk di Dahia, Beirut, yang dikenal sebagai basis pendukung kelompok di Lebanon, Hizbullah.
Berbicara di satu tempat yang dirahasiakan, pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah, mengatakan Trump mengira berbagai negara, terutama di dunia Arab, akan mendukung kebijakannya. "Kenyataannya, dia sekarang sepertinya terkucil, hanya Israel yang membelanya," kata Nasrallah. Di Tepi Barat, puluhan warga Palestina melempar batu ke arah tentara Israel. Selain di wilayah Palestina, demonstrasi juga diserukan di Beirut dan di ibu kota Iran, Teheran.
Presiden Joko Widodo di Istanbul, Turki, akan berupaya membulatkan suara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) terkait pembelaan terhadap Palestina.
"Ini adalah kesempatan pertama bagi negara-negara OKI untuk secara bersama dan tegas menolak keputusan Presiden Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel," kata Presiden Jokowi kepada para wartawan di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta, sebelum berangkat ke Istanbul.
Dipimpin oleh Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, KTT Luar Biasa OKI akan dimulai di Istanbul, Rabu (23/12), untuk khusus membahas keputusan Presiden Donald Trump yang menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Langkah Trump mengundang kecaman internasional karena status Yerusalem -berdasarkan Kesepakatan Oslo tahun 1993- ditunda hingga berlangsungnya perundingan status permanen di kemudian hari.
Bagaimanapun tampaknya tak semua negara, termasuk beberapa negara Timur Tengah, yang mengungkapkan kecaman keras atas keputusan Trump tersebut, yang memicu unjuk rasa jalanan di berbagai tempat dunia.
Bahkan di dalam OKI sendiri para pengamat mengatakan bisa terlihat bahwa Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab sebenarnya berlaku lunak terhadap Amerika Serikat.
"Karena mereka melihat masalah Palestina telah menjadi beban. Di satu pihak mereka ingin berhubungan dengan Israel untuk menghadapi Iran di Timur Tengah. Tapi di pihak lain, ada ganjalan isu Palestina karena tidak memungkinkan bagi mereka menjalin hubungan resmi dengan Israel sepanjang masalah Palestina tidak terselesaikan," jelas Smith Al Hadar dari ISMES atau Indonesian Society for Middle East Studies.
(BBC/VOA)
No comments
Post a Comment