Tehran (SAMO News) -- Bersamaan dengan persiapan pemilihan presiden di Iran minggu ini, pembicaraan-pembicaraan dengan Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai isu nuklir telah macet. Para analis merasa skeptis presiden baru nantinya akan membuat perubahan.
Jim Walsh, ahli program nuklir Iran dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), mengatakan kepemimpinan Iran ternyata terbagi dalam isu nuklir ini.
“Direktur untuk Intelijen Nasional [James Clapper], petugas intelijen dengan jabatan tertinggi pada pemerintahan AS, telah bersaksi tahun ini bahwa Iran belum memutuskan untuk membuat bom," ujar Walsh.
"Sekarang, mereka ingin memiliki kemampuan -- mereka memiliki kapabilitas dasar untuk membuat mesin sentrifugal -- namun mereka belum membuat keputusan politik kritis untuk maju terus dan melintasi jembatan itu dan memutuskan membuat bom."
Selama bertahun-tahun, komunitas internasional telah mencoba untuk meyakinkan Iran untuk mengakhiri program pengayaan uranium, namun tidak berhasil. Uranium dengan kandungan rendah dapat digunakan untuk pembangkit listrik tenaga nuklir, namun uranium yang sangat dikayakan merupakan bagian integral dari bom nuklir.
Dua putaran negosiasi internasional tahun ini gagal menghasilkan kemajuan apa pun.
Dalam upaya menekan Iran untuk mengakhiri program pengayaan uraniumnya, Dewan Keamanan PBB telah memberlakukan sanksi untuk Iran. Sebagai tambahan, beberapa negara, termasuk Amerika Serikat, telah memberlakukan langkah-langkah sendiri, misalnya, dengan menarget industri minyak dan sektor keuangan Iran.
Mantan Duta Besar AS Ryan Crocker, yang pernah bertugas antara lain di Irak, Afghanistan, Pakistan dan Suriah, menyebut sanksi sebagai pedang bermata dua.
"Saya melihat sanksi itu bisa dimanipulasi oleh rezim yang manipulatif dan otokratik seperti Irak, sehingga rezim itu tidak menderita, tapi masyarakat menderita," ujar Crocker. "Hal itu jelas bukan tujuan kita."
Meski Walsh mengatakan sanksi-sanksi memiliki tempat tersendiri, ia mempertanyakan apakah hal itu dapat mencapai tujuan.
"Pada akhirnya, apakah mereka baik atau buruk tidak begitu masalah," ujarnya. "Pertanyaannya, apakah kita mencapai tujuan kebijakan kita? Apakah program nuklir Iran ditutup? Atau berkurang ukurannya?"
"Sayangnya, jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah 'tidak'," ujar Walsh. "Dan kita dapat melanjutkan hal yang sama berulang-ulang dan terus gagal berulang-ulang, atau kita dapat mencoba memikirkan ulang apa yang kita lakukan dan mencoba untuk benar-benar mencapai tujuan itu."
Beberapa analis, termasuk Crocker dan Walsh, yakin cara untuk bergerak maju adalah dengan melibatkan Iran dalam negosiasi-negosiasi.
Duta Besar Crocker, yang telah bernegosiasi dengan pihak Iran, mengatakan bahwa bahkan pembicaraan yang gagal pun dapat memberikan hasil-hasil positif.
“Negosiasi-negosiasi bukan hanya untuk mendapatkan kata 'ya,' terutama dengan negara yang kompleks, canggih dan seringkali terlihat buram seperti Iran," ujarnya.
“Jika ada kesepakatan, itu baik. Tapi jika ada kata 'tidak', karena mereka tidak kenal kompromi, maka Anda akan berada di posisi yang lebih kuat untuk apapun yang terjadi setelahnya."
Seiring persiapan Iran untuk memilih presiden baru Jumat ini, Walsh mengatakan periode pasca-pemilu memberikan kesempatan baik untuk kemajuan terkait nuklir.
“Jika pemilihan umum berjalan lancar," ujarnya, "akan ada celah kesempatan setelah pemilihan presiden dan sebelum akhir masa jabatan Presiden Obama, sehingga jika ada pihak-pihak yang ingin menyelesaikan sesuatu, saat itulah waktu yang tepat."
Namun, baik Walsh dan Crocker mengatakan pemerintah di Washington dan Tehran harus mematahkan siklus ketidakpercayaan di antara mereka untuk secara serius mengatasi masalah-masalah seperti kecurigaan akan niat Iran mengembangkan senjata-senjata nuklir. (VOA/Andre de Nesnera)
No comments
Post a Comment