SAMO News

Wawancara Menko Polhukam Djoko Suyanto soal Insiden Tewasnya 8 Prajurit TNI di Papua

Wawancara Menko Polhukam Djoko Suyanto soal Insiden Tewasnya 8 Prajurit TNI di Papua

Berbagi berita ini ke teman



SAMO News - Wartawan VOA, Eva Mazrieva mewawancarai Menko Polhukam Djoko Suyanto mengenai insiden tewasnya 8 prajurit TNI oleh kelompok bersenjata di Papua, Kamis (21/2).


VOA: Kami turut berduka cita dengan insiden tewasnya 8 anggota TNI akibat penyerangan oleh kelompok-kelompok bersenjata di Papua Rabu pagi. Apa benar TNI kecolongan?

Begini yaa Eva… Kejadiannya ada di dua tempat berbeda. Pertama – mereka menyerang pos. Anda jangan bayangkan pos keamanan di Papua itu seperti pos di Jawa. Pos di sana itu di dalam hutan, kampungnya hanya sedikit, hutan biasanya menjadi tempat bersembunyi.
Kedua – penghadangan pada prajurit yang sedang dalam perjalanan ke bandara untuk mengambil dukungan logistik, radio untuk keperluan markas mereka. Terserah bagaimana anda melihatnya “kecolongan” atau tidak, tapi namanya penyerangan khan tidak bilang-bilang. Orang mau nyolong pastinya khan sembunyi-sembunyi. Tapi yang jelas begini. Aparat tidak sedang melakukan pengejaran dll. Jadi pemerintah jelas mengutuk dengan keras insiden ini. Bahkan tadi sore, saya dihubungi salah satu tokoh pendeta di Papua yang menyesalkan kejadian ini. Karena ketika pemerintah berupaya keras mengedepankan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, serta menomorduakan aspek-aspek keamanan tapi justru kelompok-kelompok bersenjata berbuat ulah. Apalagi mengambil korban 8 korban TNI.

VOA: Dalam pernyataan tertulis Bapak yang kami peroleh beberapa jam lalu, menunjukkan bahwa penyerangan disinyalir dilakukan oleh beberapa kelompok bersenjata. Ada kelompok pimpinan Goliat Tabuni dan Murib. Berarti aktivitas kelompok-kelompok bersenjata di Papua hingga kini masih aktif?

Kenyataannya demikian. Kenyataannya mereka menyerang dengan senjata api dan ini bukan sekedar dugaan. Jadi jika kemudian pemerintah melaksanakan tindakan-tindakan keras terhadap kelompok-kelompok bersenjata itu. Jadi jika kelak pemerintah melakukan tindakan yang keras terhadap mereka dengan tindakan yang tegas, proper dan sesuai dengan yang kami hadapi di lapangan, jangan dihujat sebagai pelanggaran HAM.
Saya khan juga harus membela HAM prajurit-prajurit saya, yang tidak berdosa tapi ditembaki seperti itu. Jadi jika nanti kami melakukan pengejaran dan upaya penangkapan terhadap mereka secara tepat, dengan membawa perangkat dan peralatan yang dibutuhkan, ini memang sudah seharusnya, karena mereka bersenjata! Kita tidak boleh mati konyol sia-sia.

VOA: Maksud Bapak agar jangan sampai tindakan itu nantinya dilihat sebagai “pelanggaran HAM”? Tapi tentunya ini bukan “retaliation” khan?

Sudah barang tentu pesan saya tetap TNI harus proper. Tidak boleh rakyat yang tidak bersalah justru dianiaya atau diperlakukan tidak benar. Tapi bagi yang bersalah, yang melakukan kejahatan penyerangan dengan penembakan dan perlawanan bersenjata, harus dihadapi dengan kekuatan dan perlawanan yang setimpal.

VOA: Pastinya kondisi ini tidak mencerminkan Papua secara keseluruhan khan?

Tidak! Ini hanya di satu dua distrik di Puncak Jaya. Papua itu 3-4 kali luas Pulau Jawa. Bukan berarti saya mengecilkan arti kejadian ini, karena ini sangat luar biasa. Presiden juga sangat prihatin, sedih dan mengutuk keras kejadian ini. Beliau juga sangat marah karena upaya kita untuk mengajak membangun negeri secara damai tapi kelompok-kelompok bersenjata ini tidak merespon dengan baik. Bahkan salah seorang pendeta di sana – seperti yang saya sampaikan tadi – menyesalkan insiden ini. Saya tidak tahu motifnya apa. Apakah ingin menarik perhatian dunia?. Kalau menurut saya jika ingin menarik perhatian dunia dengan insiden seperti ini, dunia mana yang bisa bersimpati dan tertarik dengan tindakan seperti ini? Apalagi yang diserang itu bukan hanya TNI dan polisi, tapi juga pekerja-pekerja pertambangan, perkebunan dan industri lainnya juga diserang. Ini sangat sporadis. Tujuan penyerangan mereka juga tidak jelas!.

VOA: Apakah Bapak akan mengirimkan “tim khusus” untuk melakukan pengejaran dan penindakan, atau mengerahkan yang ada di Papua saja?

Pasti akan ada evaluasi, yang pasti kita tidak akan tinggal diam. Harus ada tindakan yang setimpal dengan perbuatan mereka. Tapi harus ada analisa terlebih dahulu bagaimana kekuatan mereka untuk menentukan seberapa besar kekuatan TNI-Polisi yang perlu diturunkan. Tapi ingat ini bukan “retaliation” yaa!! Sekali lagi ini adalah proses penegakkan hukum yang “extraordinary” karena kejahatan yang dilakukan juga “extraordinary”. Saya kira di negara mana pun jika kejahatannya seperti ini maka penindakan yang dilakukan ya “extraordinary” juga! Kalau pun nanti ada evaluasi perlu penguatan-penguatan dengan kekhususan tertentu terkait situasi medan yang membutuhkan keahlian tertentu, pastinya akan didukung oleh pemerintah.

VOA: Adakah himbauan khusus bagi warga Papua atau warga asing yang kini berada di Papua?

Untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan tindakan seperti ini selalu diberikan kepada aparat di bawah. Tapi sekali lagi kalau yang namanya pencegatan,penyerangan dll itu inisiatif khan dari kelompok-kelompok bersenjata. Kecuali jika memang dalam kondisi perang. Itu lain soal. Pendadakan itu inisiatif ada di tangan mereka. Sama seperti terorisme. Satu-satunya yang harus ditingkatkan yaa kewaspadaan, pola penjagaan yang harus berubah setiap hari, harus lebih tertib menjaga markas masing-masing dan yang terpenting – membina hubungan dengan masyarakat sekitar agar tidak menjadi tempat perlindungan kelompok bersenjata. Tapi ini susah karena kekerabatan diantara warga di sana juga sangat kental.

Meskipun saya berulangkali sampaikan, jangan menyerah! Yang pasti jangan sampai jika kita mengambil tindakan sesuai bahaya yang mungkin ditimbulkan, jangan lalu pemerintah dihujat!. Sekarang ini saya tidak satu pun mendengar kelompok aktivis yang mendukung TNI atau mengecam tindakan kelompok bersenjata ini.(VOA)

No comments