Dua pesawat tempur Sukhoi Skuadron 11 Lanud Hasanuddin, Makassar, menghentikan pesawat asing yang melintas di wilayah udara Indonesia (30/9). Pesawat jenis Cessna 208, N-354 RM itu dicegat dan dipaksa mendarat di Lanud Balikpapan, Kalimantan Timur.
“Terpaksa kami lakukan peluncuran dua Sukhoi, karena pilot itu tidak merespons komunikasi radio dari ATC,” ujar Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsekal Muda Bambang Soelistyo .
Pilotnya bernama Michael E. Boyd, berkewarganegaraan AS. Pesawat asing itu berangkat dari Palau (sebuah negara kecil di kawasan Pasifik, tepatnya di utara Papua dengan tujuan mengantar pesawat yang baru dibeli ke Singapura.
Insiden ini bukan yang pertama. Pada 2011, Kohanudnas juga mencegat pesawat tanpa izin. Saat itu pesawat jet P2-ANW Dassault Falcon 900EX yang ditumpangi Wakil Perdana Menteri Papua Nugini Belden Namah distop oleh Sukhoi.
Kejadian ini menunjukkan radar Indonesia bekerja dengan baik di wilayah Kalimantan. Dengan demikian, kru di darat bisa segera merespon dan mengambil keputusan yang dibutuhkan.
Namun bagaimana jika pesawat yang menerobos wilayah Indonesia adalah pesawat tempur berkecepatan supersonic ?. Apakah radar Indonesia di Kalimantan masih bisa mendeteksinya ?.
Tidak semua wilayah udara Indonesia dicakup oleh radar. Selain itu, sistem radar Indonesia juga memadukan radar militer dan sipil dan kebanyakan radar sipil tidak bisa mendeteksi pesawat tempur, apalagi bila terbang dalam kecepatan supersonic.
Radar penerbangan sipil (angkutan udara) berbeda dengan radar militer (Angkatan Udara). Radar sipil bekerja dengan mengririm sinyal ke pesawat agar transponder pesawat membalas, sehingga pergerakannya dapat dipantau melalui sinyal transponder atau biasa disebut Secondary Surveillance Radar (SSR).
Sementara radar militer (Primary Surveillance Radar-PSR) memantulkan sinyal ke udara dalam cakupan tertentu agar dipantulkan kembali oleh penampang dan pergerakan pesawat. Pemantulan sinyal radar oleh penampang pesawat ini yang dipantau radar militer. Dengan demikian, pesawat yang mematikan transpondernya pun masih dapat dideteksi. Beberapa bandara besar juga menggunakan primary radar (radar militer), namun tidak semua karena harganya lebih mahal. Harga satu radar militer sekitar 50 juta dollar AS.
- SatRad 241 Buraen, Amarasi Selatan, Kupang, NTT
Radar militer Indonesia di wilayah Barat, umumnya menggunakan Radar Thomson CSF dari Perancis yang berfungsi sebagai Radar Early Warning, serta Radar GCI (Ground Control Intercept) Plessey Inggris, yang berkemampuan 3 Dimensi. Radar ini dibeli pada tahun 1980-an.
Namun tidak semua radar ini berfungsi dengan baik, karena usianya yang sudah uzur. Bahkan menurut Mantan KASAU TNI-AU Marsekal Purn. Chappy Hakim, sebagian radar telah rusak sehingga kemampuannya tersisa 70 persen. Lebih parah lagi, tidak semua radar militer beroperasi 24 jam. Sebagian difungsikan selama 12 jam akibat faktor usia.
Hitungan lebih pesimis disampaikan oleh Mantan Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional Marsda F Djoko Poerwoko. Dari jumlah total radar yang dimiliki TNI, 40 persen tidak dapat beroperasi.
Kondisi itu agak berbeda dengan radar militer yang di Indonesia bagian Timur yang mendapatkan radar baru dan modern: Radar Type Master-T buatan Perancis. Gelar Radar Master-T difokuskan di wilayah timur agar untuk meng-cover wilayah udara dan perairan yang cukup luas, yang bisa menjadi celah bagi negara asing untuk menyusup.
Kohanudnas memiliki 20 Satuan Radar yang terbagi ke dalam 4 Komando Sektor (Kosek). Kosek I bermarkas di Halim, Jakarta membawahi 6 radar: SatRad 211 Tanjungkait, Satrad 212 Ranai, Satrad 213 Tanjung Pinang, Satrad 214 Pemalang, Satrad 215 Congot dan Satrad 216 Cibalimbing.
Kosek II di Makassar membawahi 5 radar, Kosek III di Medan membawahi 4 radar dan Kosek IV di Biak membawahi 5 radar: yakni: Satuan Radar 243 Timika, Satuan radar Biak, Satuan Radar 244 Merauke, Buraen Kupang NTT dan Satuan Radar 245 Saumlaki Maluku Tenggara Barat. TNI menargetkan terpasang 32 radar militer pada tahun 2024.
20 Satuan Radar yang existing:
- Satuan Radar 211 Tanjung Kait, Mauk, Kab Tangerang, Banten
- Satuan Radar 212 Ranai
- Satuan Radar 213 Tanjung Pinang
- Satuan Radar 214 Pemalang
- Satuan Radar 215 Congot, DIY
- Satuan Radar 216 Cibalimbing, Surade, Kab Sukabumi, Jawa Barat
- Satuan Radar 221 Ngliyep, Malang
- Satuan Radar 222 Ploso, Jombang
- Satuan Radar 223 Balikpapan
- Satuan Radar 224 Kwandang, Gorontalo
- Satuan Radar 225 Tarakan
- Satuan Radar 231 Lhokseumawe
- Satuan Radar 232 Dumai
- Satuan Radar 233 Sabang
- Satuan Radar 234 Sibolga
- Satuan Radar 241 Buraen, Amarasi Selatan, Kupang, NTT
- Satuan Radar 242 Tanjung Warari, Biak
- Satuan Radar 243 Timika
- Satuan Radar 244 Merauke
- Satuan Radar 245 Saumlaki
Padahal menurut catatan Majalah Angkasa edisi Februari 2009, kehadiran black flight cenderung terus meningkat. Tahun 2007 terjadi 23 kali, dan tahun 2008 meningkat menjadi 26 kali, dengan perincian 10 kali pelanggaran wilayah kedaulatan dan 16 kali pelanggaran yang bersifat mengancam wilayah kedaulatan.
Kelemahan radar Indonesia lainnya terrcermin dalam kasus dua pesawat Sukhoi SU-30 milik TNI AU dikunci misil tidak dikenal ketika berlatih intersepsi udara di wilayah pesisir selatan Sulawesi Selatan, 20 Februari 2009. Alarm missile lock kedua pesawat berbunyi tiba-tiba, tetapi kedua pesawat canggih itu tidak bisa mengenali siapa pihak yang mengunci mereka. Saat itu, di masing-masing pesawat yang sedang berlatih terdapat instruktur terbang dari Rusia yang sedang melatih dua penerbang tempur TNI AU. Kedua instruktur itulah yang menyatakan alarm berbunyi karena pesawat di-lock misil.
Radar Indonesia belum cukup mampu menjejak pihak asing yang mengunci dua sukhoi Indonesia dengan misil mereka. Lebih parah lagi, Indonesia juga belum memiliki senjata anti-udara jarak menengah. Padahal, elemen utama yang membentuk pertahanan udara adalah: Radar, Pesawat Tempur, serta Surface to Air Missile. Ketiga faktor itu akan menghasilkan kemampuan yang maksimal jika bisa diintegrasikan dengan baik dan didukung oleh sumber daya manusia yang handal. Sayangnya ketiga faktor ini belum dapat terpenuhi. Jumlah radar masih terbatas, jarak jangkau senjata penangkis udara masih jarak pendek dan pesawat yang siap tempur dengan persenjataan yang komplit juga masih terbatas.
Dengan areal yang sangat luas, memang agak sulit bagi radar Indonesia untuk bisa meng-cover seluruh wilayah udara secara benar dan cermat.
Sumber : JK GR
No comments
Post a Comment