Arafah(Sinhat)--Gerakan rohani yang seimbang dan terpadu berdasarkan
tauhid dan hidayah Allah akan menumbuhkan rasa kemanusiaan dalam konteks
pergaulan sosial. Sebab, sesungguhnya tauhid dan ibadah yang benar
haruslah menumbuhkan kemaslahatan sosial antar sesama. Dari sinilah bisa
dipahami hakekat Islam yang rahmatan lil alamin, kata K. H. A. Hasyim
Muzadi pada khutbah Wukuf di Arafah Tahun 1433 H tanggal 09 Dzulhijjah
1433 H / 25 Oktober 2012 M di tenda misi haji Indonesia, Arfah, Jumat.
Ia mengatakan, penataan tauhid ritual dan sosial yang dibangun oleh
agama secara permanen dan abadi akan terus menghadapi gempuran-gempuran
syaithoniyah, antara lain melalui was wasil khonnas (bisikan gangguan
syeitan al khonnas) yang bisa berbentuk jin dan manusia; maka manusia
harus terus menerus berlindung kepada Allah. Sebab, katanya, tipu daya
syaithoniyah jauh lebih besar dan berat dibanding kemampuan manusia
untuk mengatasinya sendiri.
Daya tahan orang terhadap gempuran gangguan itu ditentukan oleh tingkat
kedekata umatnya kepada Allah Swt. Hablun minallah dan hablun minannas
sebagai cerminan dari tauhid ibadah dan perilaku sosial akan membentuk
karakter Islami yang spesifik. Setiap manusia secara alamiah telah
diperlengkapi oleh Allah instrumen-instrumen kemanusian yang dapat
mengangkat hakat dan martabat manusia itu. Namun, potensi karakter
tersebut belumlah sempurna sebelum ada sentuhan tauhid dan ibadah serta
norma sosial Islam.
Hal ini disebabkan karena manusia tak hanya hidup di sini (alam dunia).
Namun juga akan hidup dalam kehidupan selanjutnya yakni hidup dalam
alam barzakh dan alam akhirat. Maka tauhid dan takwa kepada Allah yang
akan melestarikan amal itu sampai di alam akhirat tidak hanya terputus
manfaatnya di alam dunia saja.
Pada kesempatan itu ia memaparkan bahwa seiring dengan proses
internalisasi karakter Islami, manusia mempunyai tugas sebagai khalifah
di bumi yang menyangkut dua aspek besar yakni aspek pengelolaan alam
(bumi) dan kepemimpinan sosial.
Dalam aspek sumberdaya alam Allah menyerahkannya kepada manusia jadi
sumberdaya alam diserahkan kepada sumberdaya manusia dan bukan
sumberdaya manusia yang diserahkan kepada sumberdaya alam.
Dari posisi manusia dan alam (bumi) seperti tertera di dalam Al Quran,
maka baik buruknya sumber daya alam ditentukan oleh cara pengelolaan
manusia.Apabila pengelolaannya benar maka akan terjadi berkah
kemanfaatan bumi kepada manusia.
Dan, apabila sebaliknya maka yang akan terjadi adalah kerusakan bumi
itu. Kerusakan bumi pada gilirannya akan meumukul balik manusia yang
merusaknya dengan kerugian-kerugian pada kehidupan.
Di dalam Al Quran, menurut KH Hasyim Muzadi, kerusakan dan goncangan di
bumi dapat dibedakan dalam beberapa jenis: Pertama: kerusakan yang
timbul karena ulah manusia misalnya kerusakan lingkungan alam/cuaca.
Kedua, goncangan alam yang semata-mata hanya Allah yang bisa
menggerakannya karena di luar kemampuan tangan manusia misalnya tsunami,
gunung meletus, gempa dan semacamnya. Ketiga, goncangan alam yang
dikehendaki Allah guna mengingatkan umat Nya atas kekuasaan Allah yang
tiada terbatas dan atau mengingatkan perilaku hamba-Nya yang keliru.
Selanjutnya, kata dia, Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku bangsa serta ditempatkannya di bagian belahan dunia
masing-masing. Logikanya bahwa lingkungan alam utamanya digunakan untuk
kelompok, suku bangsa dan bangsa-bangsa yang menempatinya. Sehingga
rezeki yang ada di dalam kawasan sumber daya natural seharusnyalah
menjadi rezeki bangsa dan suku bangsa yang menempatinya.
Hal ini tidak berarti agama mengajarkan eksklusifisme (pengasingan)
masing-masing bangsa karena dengan tegas Al Quran memerintahkan ta’aruf
(saling mengenal dan menghargai serta memenuhi kebutuhan antar bangsa)
namun pergaulan antar bangsa itu haruslah dalam posisi ta’aruf
kesejajaran bukan dalam eksploitasi kehidupan dan penghidupan. Di
sinilah bangsa-bangsa termasuk bangsa Indonesia seharusnya mensyukuri
nikmat pemberian Allah berupa kawasan alam itu.(ant/ess)
No comments
Post a Comment