Amerika Serikat sejak beberapa bulan silam telah menawarkan sejumlah helikopter anti kapal selam bekas kepada Indonesia yang dimasukkan dalam paket EDA alias sistem senjata bekas pakai
.
Selain helikopter SH-2G Super Seasprite yang sekarang penggunanya
tinggal tiga negara, Paman Sam juga menawarkan pesawat sayap putar SH-60
Seahawk. Sesuai dengan nomenklaturnya, SH-60 Seahawk merupakan varian
dari UH-60 Blackhawk yang menjadi tulang punggung Angkatan Darat Amerika
Serikat.
Dilihat dari sisi usia kerangka pesawat maupun jam terbang pesawat, SH-60 Seahawk jelas memiliki usia yang lebih muda dibandingkan dengan SH-2G. Apalagi populasi SH-60 Seahawk masih sangat banyak di seluruh dunia dan digunakan oleh banyak negara. Dari sisi Amerika Serikat, ada harapan agar kekuatan laut Indonesia memilih salah satu dari dua tawaran tersebut. Artinya, Angkatan Laut Indonesia diharapkan oleh Amerika Serikat memanfaatkan fasilitas FMS, karena semua yang tercantum dalam EDA adalah bagian dari FMS.
Namun berdasarkan berbagai pertimbangan, Indonesia memutuskan menggunakan fasilitas DCS. Dalam hal fasilitas DCS, hal prinsip yang harus dipenuhi adalah notifikasi oleh Defense Security Cooperation Agency (DSCA) kepada Kongres dan selanjutnya Kongres akan memutuskan apakah setuju atau menolak rencana penjualan tersebut. Pada dasarnya prinsip ini sama dengan fasilitas FMS.
Apabila para senator dan representative di Capitol Hill telah memberikan persetujuan, maka fase berikutnya memunculkan perbedaan. Kalau memakai fasilitas FMS, maka yang terjadi adalah hubungan segitiga antara Pentagon-pabrikan-Departemen Pertahanan Indonesia. Sedangkan bila menggunakan fasilitas DCS, hubungan yang tercipta adalah langsung antara Departemen Pertahanan Indonesia dengan pabrikan.
Karena memakai fasilitas DCS, tentu saja Indonesia harus menyediakan dana yang cukup besar untuk dibayarkan kepada pabrikan. Bila memanfaatkan fasilitas FMS, Indonesia harus mengeluarkan dana untuk perbaikan helikopter itu. Bisa saja helikopternya berstatus hibah, akan tetapi biaya perbaikan tentu saja tidak gratis. Itulah yang terjadi dengan F-16C FMS yang akan digunakan oleh kekuatan udara Indonesia
Dilihat dari sisi usia kerangka pesawat maupun jam terbang pesawat, SH-60 Seahawk jelas memiliki usia yang lebih muda dibandingkan dengan SH-2G. Apalagi populasi SH-60 Seahawk masih sangat banyak di seluruh dunia dan digunakan oleh banyak negara. Dari sisi Amerika Serikat, ada harapan agar kekuatan laut Indonesia memilih salah satu dari dua tawaran tersebut. Artinya, Angkatan Laut Indonesia diharapkan oleh Amerika Serikat memanfaatkan fasilitas FMS, karena semua yang tercantum dalam EDA adalah bagian dari FMS.
Namun berdasarkan berbagai pertimbangan, Indonesia memutuskan menggunakan fasilitas DCS. Dalam hal fasilitas DCS, hal prinsip yang harus dipenuhi adalah notifikasi oleh Defense Security Cooperation Agency (DSCA) kepada Kongres dan selanjutnya Kongres akan memutuskan apakah setuju atau menolak rencana penjualan tersebut. Pada dasarnya prinsip ini sama dengan fasilitas FMS.
Apabila para senator dan representative di Capitol Hill telah memberikan persetujuan, maka fase berikutnya memunculkan perbedaan. Kalau memakai fasilitas FMS, maka yang terjadi adalah hubungan segitiga antara Pentagon-pabrikan-Departemen Pertahanan Indonesia. Sedangkan bila menggunakan fasilitas DCS, hubungan yang tercipta adalah langsung antara Departemen Pertahanan Indonesia dengan pabrikan.
Karena memakai fasilitas DCS, tentu saja Indonesia harus menyediakan dana yang cukup besar untuk dibayarkan kepada pabrikan. Bila memanfaatkan fasilitas FMS, Indonesia harus mengeluarkan dana untuk perbaikan helikopter itu. Bisa saja helikopternya berstatus hibah, akan tetapi biaya perbaikan tentu saja tidak gratis. Itulah yang terjadi dengan F-16C FMS yang akan digunakan oleh kekuatan udara Indonesia
Dari HMAS Albatross Ke Lanudal Juanda
Rencana pengadaan helikopter anti kapal selam Kaman SH-2G(I) Super Seasprite oleh Angkatan Laut Indonesia tentu menggembirakan bagi Kaman sebagai produsen sistem senjata terbang itu. Sebab mereka memiliki peluang untuk menebus kegagalan serupa di Australia. Seperti diketahui, Angkatan Laut Negeri Kangguru memulangkan armada heli keluaran Amerika Serikat itu karena ditemukan sejumlah kejanggalan yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan. Akibatnya, pesawat sayap putar itu bertengger di hanggar milik Kaman selama beberapa tahun sambil pabrikan Amerikat Serikat tersebut mencari pembeli baru.
Keputusan Indonesia untuk membeli helikopter anti kapal yang sekarang penggunanya tinggal tiga di seluruh dunia tentu saja menggembirakan bagi Kaman. Sebab helikopter yang seharusnya dulu berbasis di HMAS Albatross kini telah menemukan calon basis baru yaitu di Lanudal Juanda. Dengan demikian, sudah terbayang profit yang akan diraih oleh Kaman dalam pengadaan oleh kekuatan laut Indonesia itu lewat program direct commercial sales.
Diposkan oleh Damn The Torpedoes!!!
Rencana pengadaan helikopter anti kapal selam Kaman SH-2G(I) Super Seasprite oleh Angkatan Laut Indonesia tentu menggembirakan bagi Kaman sebagai produsen sistem senjata terbang itu. Sebab mereka memiliki peluang untuk menebus kegagalan serupa di Australia. Seperti diketahui, Angkatan Laut Negeri Kangguru memulangkan armada heli keluaran Amerika Serikat itu karena ditemukan sejumlah kejanggalan yang tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan. Akibatnya, pesawat sayap putar itu bertengger di hanggar milik Kaman selama beberapa tahun sambil pabrikan Amerikat Serikat tersebut mencari pembeli baru.
Keputusan Indonesia untuk membeli helikopter anti kapal yang sekarang penggunanya tinggal tiga di seluruh dunia tentu saja menggembirakan bagi Kaman. Sebab helikopter yang seharusnya dulu berbasis di HMAS Albatross kini telah menemukan calon basis baru yaitu di Lanudal Juanda. Dengan demikian, sudah terbayang profit yang akan diraih oleh Kaman dalam pengadaan oleh kekuatan laut Indonesia itu lewat program direct commercial sales.
Diposkan oleh Damn The Torpedoes!!!
No comments
Post a Comment